KATA
PENGANTAR
Puji dan Syukur
penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Essa, karena atas berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menulis makalah ini yang
berjudul “Euthanasia” hingga selesai. Meskipun dalam makalah ini penulis mendapat
banyak yang menghalangi, namun mendapat pula bantuan dari beberapa pihak baik
secara moril, materil maupun spiritual.
Oleh karena itu,
penulis menghanturkan terimah kasih kepada guru pembimbing serta semua pihak
yang telah memberikan sumbangan dan saran atas selesainya penulis makalah ini.
Di dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih ada
kekurangan-kekurangan meningat keterbatasannya pengetahuan dan pengalaman
penulis. Oleh sebab itu, sangat di harapkan kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun untuk melengkapkan makalah ini dan berikutnya.
Bengkulu, Desember 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah.................................................................................................. 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2
D. Manfaat.................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian................................................................................................................. 3
B. Euthanasia dilihat dari sudut
etika, moral, hukum,dan agama Islam......................... 6
1.
Euthanasia
dilihat dari sudut etika...................................................................... 6
2.
Euthanasia
dilihat dari sudut moral..................................................................... 7
3.
Euthanasia
dilihat dari sudut hukum................................................................... 9
4.
Euthanasia
dilihat dari sudut agama islam.......................................................... 10
5.
Euthanasia
ditinaju dari segi tujuannya............................................................... 15
BAB III KESIMPULAN..................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di
suatu negara di Barat pernah ada lembaga yang melakukan kampanye mati sukarela
"kematian sukarela" (euthanasia) terhadap kaum manula. Siapa saja
yang mau meninggal, bisa segera mendaftar, kemudian tinggal menunggu waktu
eksekusinya.
Menurut
mereka, para aktivis kedokteran harus berhenti memainkan peranan tradisionalnya
sebagai penyelamat kehidupan, kalau memang si pasien ternyata berusia lanjut
serta hanya akan membebani masyarakat saja.
Membunuh
bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai
kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.
Secara
umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal
demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks
kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara
tiba-tiba.
Banyak
argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau
sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil
hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak
orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan
memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan
sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan
depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia,
dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa
orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi
yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung
orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk
mati.
B.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasikan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Euthanasia dipandang dari sudut etika, moral, hukum, serta agama islam
2. Bagaimanakah perspektif euthanasia dari
segi medis ?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.
Untuk membuka
wawasan kami dalam latihan penulisan ilmiah yang benar dan sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa yang telah disempurnakan.
2.
Untuk membuka
pemahaman kami tentang euthanasian yang dipandang dari berbagaisudut etika,
moral, hukum, serta agama Katilok.
3.
Manfaat
Adapun
manfaat bagi penulisan makalah ini yaitu sebgai berikut:
1.
Dengan penulisan
makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepadamasyarakat mengenai
Euthanasia dan dampak-dampak serta siasat dan penanggulangan terbaik untuk
penyelesaian masalah yang berhubungan dengan hal tersebut.
2.
Dengan makalah
ini untuk menambah wawasan kami pada makalah berikutnya.
3.
Sebagai bahan
bacaan bagi masyarakat umum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang dilakukan secara
sengaja. Dengan aksi atau dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang
seharusnya didapatkan oleh pasien, agar pasien tersebut dapat meninggal secara
wajar. Euthanasia masih merupakan hal yang menjadi kontroversi di dalam
kehidupan kita ini. Ada yang mengatakan tindakan ini tidak salah untuk
dilakukan, dan juga tidak sedikit orang yang tidak setuju akan keberadaan
tindakan euthanasia itu sendiri. Sudah semestinya setiap pelaku tindakan
euthanasia ini memiliki alasan yang sangat kuat didalam mengambil keputusan
akan tindakan euthansia tersebut.
Kata
euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani. Eu berarti baik atau
layak. Thanatos berarti mati. Jadi secara harafiah eutanasia berarti mati yang
layak atau mati yang baik atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang
berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani
kematian yang layak. Atau euthanatos (kata sifat) yang berarti mati dengan
mudah.Secara etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang
tanpa penderitaan yang hebat.
Iniorang
menilai eutanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan
penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang
proses “meringankan penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup
sebelum waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, eutanasia dipahami sebagai
mercy killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi
penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa, atau orang sakit
tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tak
bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
Dari
perjalanan arti eutanasia sendiri kelihatan adanya suatu pergeseran arti.
Eutanasia yang pada awalnya berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan
sebagai tindakan untuk mempercepat kematian. Kiranya penting memahami arti
eutanasia itu sendiri sebelum dinilai secara etis maupun moral. Oleh karena
itu, kiranya perlu dilihat arti eutanasia menurut Gereja. Dalam arti tertentu,
kalau Gereja menyerukan arti eutanasia, kita tahu dengan pasti apa yang
dimaksud dengan eutanasia itu sendiri. Gereja sendiri yang dalam hal ini
diwakili oleh kongregasi suci untuk ajaran iman mendefinisikan eutanasia sebagai
sebuah tindakan atau tidak bertindak yang menurut hakikatnya atau dengan maksud
sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan rasa sakit.
o
Tindakan Euthanasia di kategorikan dalam
tiga macam, yaitu:
a) Euthanasia
pasif adalah apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi
memberikan pengobatan demi memperpanjang kehidupan pasien, misalnya: dengan
mencabut alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup, keluarga tidak
lagi merawat pasien di RS. Hal ini terjadi untuk pasien yang benar-benar sudah
terminal, dalam arti tidak bisa disembuhkan lagi, dan segala upaya pengobatan
sudah tidak berguna pula. Belakangan tidak lagi dianggap sebagai euthanasia.
Umumnya kalangan dokter dan agamawan setuju. Karena toh pasien meninggal karena
penyakit nya, bukan karena usaha-usaha yang dilakukan manusia.
b) Euthanasia
tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan
tindakan medik tertentu yang bertujuan meringankan penderitaan pasien, akan
tetapi tindakan mediknya membawa risiko hidup pasien diperpendek secara
perlahan-lahan. Misalnya: seorang pasien penderita kanker ganas tak
tersembuhkan yang sangat menderita kesakitan diberi obat penghilang rasa sakit,
namun obat tersebut mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara
perlahan-lahan. Tindakan ini tidak bertentangan dengan eksistensi manusia
sebenarnya, karena dilakukan agar pasien tidak berada dalam penderitaan yang
terus-menerus dan tak tertahankan.
c) Euthanasia
aktif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja
melakukan suatu tindakan untuk memperpendek (mengakhiri) hidup pasien.
Euthanasia aktif ada dua; pertama, dokter yang mengambil tindakan mematikan
misalnya dengan suntik mati. Kedua, dokter hanya membantu pasien, misalnya
dengan memberi resep obat yang mematikan dalam dosis besar.
Aturan hukum mengenai masalah ini
berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan
norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di
beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya
dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan
prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
v Menurut
istilah Kedokteran :
Eutahanasia berarti tindakan agar
kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal
diperingan.Mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya.
v Kategori Euthasania
o
Euthanasia ditinjau dari Pemberian Izin
:
1) Eutanasia
di luar kemauan pasien
Suatu tindakan eutanasia yang
bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia
semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan, dan pelakunya dapat dikenakan
ancaman tindakan pidana.
2) Eutanasia
secara tidak sukarela
Eutanasia semacam ini adalah yang
seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang
keliru oleh siapapun juga.
Hal ini terjadi apabila seseorang yang
tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya
statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisi lain, si pasien
sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakan kondisinya,
misalnya sipasien koma atau tidak sadar.
3) Eutanasia
secara sukarela
Dilakukan atas persetujuan si pasien
sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara
memberikan ijin untuk eutanasia tipe yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun
beberapa yang lain menganggapnya sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga
tetap melanggar hukum.
B.
Euthanasia
dilihat dari sudut etika, moral, hukum serta agama Islam
1.
Euthanasia
dilihat dari sudut etika
Etik berasal dari kata Yunani ethos,
yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan morma-norma, nilai-nilai
atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu dalam memberikan pelayanan jasa
kepada masyarakat.
Etik merupakan prinsip yang menyangkut
benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan orang lain.
Etik merupakan studi tentang perilaku,
karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan
berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama.
Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik
mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang
masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan
dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk
mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat,
prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara
hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan
bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan
seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan
aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar
ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus
menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia
kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama
dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan" (The Sanctity Of Life).
Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di
mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan
manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi
laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi
sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja
mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja
menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk
dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.
2.
Euthanasia
dilihat dari sudut moral
Dalam menilai masalah euthanasia, perlu
disadari bahwa masalah euthanasia amat kompleks. Masalah euthanasia tidak
pernah berdiri sendiri tetapi selalu berkait dengan soal lain, misalnya sosial,
politik dan ekonomi. Di sini, hanya disajikan premis untuk penilaian euthanasia
dari segi moral kehidupan.
a)
Pandangan
mengenai hidup
Euthanasia pada dasarnya berkaitan
dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat menentukan
sikap dan pilihan atas euthanasia. Yang dibahas di sini adalah pandangan hidup
secara etis dan teologis
b)
Hidup
sebagai anugerah
Banyak peristiwa dalam hidup kita
mengatasi perhitungan dan perencanaan manusia (kemandulan, kesembuhan atau
kematian di luar dugaan) dan menimbulkan keyakinan bahwa hidup itu pada
akhirnya adalah anugerah. Memang manusia meneruskan atau mewariskan kehidupan,
tetapi kehidupan itu sendiri tidak berasal dari padanya, melainkan dalam bahasa
religius dari Tuhan sebagai pencipta dan sumber kehidupan. Dibandingkan dengan
Tuhan, hidup manusia itu kontingen, dapat ada, dapat tidak ada, tetapi memang
de facto ada karena diciptakan Tuhan. Deklarasi tentang euthanasia sendiri
menegaskan hal ini dengan mengutip perkataan Santo Paulus ”Bila kita hidup,
kita hidup bagi Tuhan, bila kita mati, kita mati bagi Tuhan. Apakah kita hidup
atau mati, Kita adalah milik Tuhan (Rom 14:8 )
Manusia bukanlah pemilik mutlak dari
hidupnya sendiri. manusia administrator hidup manusia yang harus mempertahankan
hidup itu. Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil
atau memutuskan hidup baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Euthanasia
adalah bentuk dari pembunuhan tu karena euthanasia mengambil hidup orang lain
atau hidupnya sendiri (Assisted Suicide). Euthanasia menjadi salah satu cermin
di mana manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah sendiri adalah Tuhan
atas kehidupan.
c)
Hidup
sebagai nilai asasi yang sangat tinggi.
Dari sekian banyak nilai, kiranya jelas
bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai lainnya menjadi
tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang sangat
tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai
dunia fana. Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam
status “vegetatif” (PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah
dasar dari segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk
hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala
kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia
tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh
karena itu, ia tetap harus dihormati.
d)
Hidup
sebagai hak asasi dan nilai yang harus dilindungi.
Karena hidup merupakan anugerah dengan
nilai asasi dan sangat tinggi, maka hidup merupakan hak asasi manusia dan
karenanya juga harus dilindungi terhadap segala hal yang mengancamnya.
e)
Hidup
sebagai tugas
Anugerah dan tugas bersifat korelatif,
artinya hidup sebagai anugerah sekaligus berarti hidup mengembangkannya
seutuhnya (menurut segala seginya, seperti biologis, fisik, psikis, kultural,
sosial, religius, moral dan seterusnya). Dalam tugas mengembangkan kehidupan
tersirat tanggung jawab dan hak untuk mempergunakan sarana-sarana yang perlu
atau bermanfaat untuk memenuhi tugas itu sebaik-baiknya.
f)
Pandangan
mengenai Penderitaan dan Kematian
Selain berkaitan dengan kehidupan,
euthanasia juga berurusan dengan kematian. Maka perlu diperhatikan pula
pandangan tentang kematian.
g)
Penderitaan
sebagai beban atas anugerah hidup
Hidup memang anugerah, tetapi tak jarang
anugerah ini dibebani kekurangan kualitas kehidupan berupa penderitaan. Memang
penderitaan juga dapat mempunyai segi positif dan nilainya, tetapi secara
manusiawi penderitaan pertama-tama dirasakan sebagai beban. Menurut ajaran
kristiani, rasa sakit, terutama pada waktu meninggal, dalam rencana
penyelamatan Allah mendapat makna khusus. Penderitaan merupakan partisipasi
dalam penderitaan Kristus dan menghubungkan dengan kurban penebusan.
h)
Mati
dan kematian sebagai keterbatasan anugerah.
Hidup memang anugerah, namun anugerah
yang terbatas. Oleh karena itu hidup harus juga diterima dalam keterbatasannya
yaitu kematian. Keterbatasan sebenarnya bukanlah keburukan, tetapi seringkali
dirasakan sebagai keburukan, meskipun di lain pihak juga dapat diinginkan
sebagai pembebasan. Soalnya sekarang ialah di mana batas itu, kapan saatnya
tiba, sebab manusia dewasa ini makin mampu “menunda” saat kematian atau
“memperpanjang hidup”.
3.
Euthanasia
dilihat dari sudut hukum
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia,
akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran,
kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan
kematian.Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu
yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil
menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian
seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar
berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah hak dari Tuhan. Tak
seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu
kematian.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat
didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan secara permanen
(Permanent Cessation Of Life). Hanya saja, untuk memahaminya terlebih dahulu
perlu memahami apa yang disebut hidup.
Pada dewasa ini, para dokter dan petugas
kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup
berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua masalah yang ada itu.
Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter
& tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang
pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker
stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada
penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri
hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
4.
Euthanasia
dilihat dari sudut agama islam
Hukum Euthanasia dalam syariah islam
menurut macamnya, yakni :
a. Euthanasia
Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif,
karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun
niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,
walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah
jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa
orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya Firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)
Dan tidak layak bagi
seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)
Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS
An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa
haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan
tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif,
misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan
dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam
(Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178). Namun jika
keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan),
qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :
Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada
yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan
sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan
bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).
Jika dibayar dalam
bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000
dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000
dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak)
(Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia
aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga
kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah
(empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui
dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien
dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian
sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim).
b. Euthanasia
Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya
menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung
kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni,
apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada
perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya
mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum
berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di
mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi
lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas
(wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di
antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW
bersabda
:
“Sesungguhnya Allah
Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah
SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr)
itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan
kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada
asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas
hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun
bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits
lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada
Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan
sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat
surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata
lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu
berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya
tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang
memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa
perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya,
hukum berobat adalah sunnah (mandub),bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan
atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu
bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak
mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum
(1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien
telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan,
seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya
penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ
vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan
kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak
berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk
aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif
dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien
–setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter
tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab
dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi
adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien
tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Menurut MUI ( Majlis Ulama’ Indonesia )
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun
dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti
melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH
Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ) mengatakan,
euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang
yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut
lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang
hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati
bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI
tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu
tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan
dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak
terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk
mematikan seseorang ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan.
5.
Euthanasia
ditinjau dari Segi Tujuannya
Ditinjau dari segi tujuannya, eutanasia
juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010), yaitu:
a) Eutanasia
berdasarkan belas kasihan (mercy killing): Eutanasia jenis ini, dilakukan atas
dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia jenis ini dilakukan
kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam penyakitnya,
sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan
untuk melakukan eutanasia.
b) Eutanasia
hewan: Sesuai dengan namanya, eutanasia jenis ini, khusu dilakukan kepada
hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit
berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan
eutanasia. Pada kasusyang lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat
seseorang meninggal, maka barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam
kubur, termasuk hewan-hewan kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut
dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih dahulu.
c) Eutanasia
berdasarkan bantuan dokter: Adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif
secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri.
BAB II
KESIMPULAN
Dari keseluruhan makalah ini penulis dapat
disimpulkan bahwa:
a)
Euthanasia
dilihat dari sudut etika
ü Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu
sudut pandang saja.
ü Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana.
ü Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu
aspek, tetapi belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran
pada aspek lainnya.
ü Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang
antara hak azasi manusia, hukum, ilmu pengetahuan dan agama.
ü Euthanasia pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu
sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat menentukan sikap dan pilihan
atas euthanasia.
ü Hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala
kebaikan.
b)
Euthanasia
dilihat dari sudut moral
Perhatian dan kasih
sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi
kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga
baik secara langsung maupun tidak, kita dapat membantu si pasien menyelesaikan
persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian siap menerima kematian penuh
penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien
adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah
perlakuan yang manusiawi kepadanya.
Dengan demikian,
manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil atau memutuskan hidup baik
hidupnya sendiri maupun hidup orang lain.
c)
Euthanasia
dilihat dari sudut hukum
Euthanasia dilihat dari
sudut hukum bahwa kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah hak
dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk
mempercepat waktu kematian.
d)
Euthanasia dilihat
dari sudut agama islam
Euthanasia dalam
keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak
diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa
orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Dworkin,
R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual
Freedom. New York: Knopf, 1993.
Embuiru,
P. Herman, SVD, Penterjemah, Katekismus Gereja Katolik, Ende: Arnoldus, 1995
Konferensi
Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: Obor,
1996.
Shannon,
Thomas (Diterjemahkan K.Bertens). 1995. Pengantar Bioetika. Gramedia Pustaka
Utama.
Jakarta.
DOWNLOAD AJA LINK DI BAWAH INI
http://www.4shared.com/file/cxB1ChRSba/ETIKA_UMUM_EUTHANASIA.html
No comments:
Post a Comment