Friday 15 August 2014

EUTHANASIA (TUGAS ETIKA UMUM)



KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan  Yang Maha Essa, karena atas berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menulis makalah ini yang berjudul “Euthanasia” hingga selesai. Meskipun dalam makalah ini penulis mendapat banyak yang menghalangi, namun mendapat pula bantuan dari beberapa pihak baik secara moril, materil maupun spiritual.
Oleh karena itu, penulis menghanturkan terimah kasih kepada guru pembimbing serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan saran atas selesainya penulis makalah ini. Di dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan-kekurangan meningat keterbatasannya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh sebab itu, sangat di harapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk melengkapkan makalah ini dan berikutnya.




Bengkulu,        Desember 2013

Penyusun





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB   I    PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang......................................................................................................... 1
B.     Perumusan Masalah.................................................................................................. 2
C.     Tujuan ..................................................................................................................... 2
D.     Manfaat.................................................................................................................... 2
BAB  II   PEMBAHASAN
A.     Pengertian................................................................................................................. 3
B.     Euthanasia dilihat dari sudut etika, moral, hukum,dan agama Islam......................... 6
1.      Euthanasia dilihat dari sudut etika...................................................................... 6
2.      Euthanasia dilihat dari sudut moral..................................................................... 7
3.      Euthanasia dilihat dari sudut hukum................................................................... 9
4.      Euthanasia dilihat dari sudut agama islam.......................................................... 10
5.      Euthanasia ditinaju dari segi tujuannya............................................................... 15
BAB III   KESIMPULAN..................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di suatu negara di Barat pernah ada lembaga yang melakukan kampanye mati sukarela "kematian sukarela" (euthanasia) terhadap kaum manula. Siapa saja yang mau meninggal, bisa segera mendaftar, kemudian tinggal menunggu waktu eksekusinya.
Menurut mereka, para aktivis kedokteran harus berhenti memainkan peranan tradisionalnya sebagai penyelamat kehidupan, kalau memang si pasien ternyata berusia lanjut serta hanya akan membebani masyarakat saja.
Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba.
Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.

B.     Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Euthanasia dipandang dari sudut etika, moral, hukum, serta agama islam
2.    Bagaimanakah perspektif euthanasia dari segi medis ?
C.     Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.      Untuk membuka wawasan kami dalam latihan penulisan ilmiah yang benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang telah disempurnakan.
2.      Untuk membuka pemahaman kami tentang euthanasian yang dipandang dari berbagaisudut etika, moral, hukum, serta agama Katilok.

3.      Manfaat
Adapun manfaat bagi penulisan makalah ini yaitu sebgai berikut:
1.      Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepadamasyarakat mengenai Euthanasia dan dampak-dampak serta siasat dan penanggulangan terbaik untuk penyelesaian masalah yang berhubungan dengan hal tersebut.
2.      Dengan makalah ini untuk menambah wawasan kami pada makalah berikutnya.
3.      Sebagai bahan bacaan bagi masyarakat umum




BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian
Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang dilakukan secara sengaja. Dengan aksi atau dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya didapatkan oleh pasien, agar pasien tersebut dapat meninggal secara wajar. Euthanasia masih merupakan hal yang menjadi kontroversi di dalam kehidupan kita ini. Ada yang mengatakan tindakan ini tidak salah untuk dilakukan, dan juga tidak sedikit orang yang tidak setuju akan keberadaan tindakan euthanasia itu sendiri. Sudah semestinya setiap pelaku tindakan euthanasia ini memiliki alasan yang sangat kuat didalam mengambil keputusan akan tindakan euthansia tersebut.
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani. Eu berarti baik atau layak. Thanatos berarti mati. Jadi secara harafiah eutanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak. Atau euthanatos (kata sifat) yang berarti mati dengan mudah.Secara etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang tanpa penderitaan yang hebat.
Iniorang menilai eutanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang proses “meringankan penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, eutanasia dipahami sebagai mercy killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tak bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
Dari perjalanan arti eutanasia sendiri kelihatan adanya suatu pergeseran arti. Eutanasia yang pada awalnya berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan sebagai tindakan untuk mempercepat kematian. Kiranya penting memahami arti eutanasia itu sendiri sebelum dinilai secara etis maupun moral. Oleh karena itu, kiranya perlu dilihat arti eutanasia menurut Gereja. Dalam arti tertentu, kalau Gereja menyerukan arti eutanasia, kita tahu dengan pasti apa yang dimaksud dengan eutanasia itu sendiri. Gereja sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh kongregasi suci untuk ajaran iman mendefinisikan eutanasia sebagai sebuah tindakan atau tidak bertindak yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan rasa sakit.
o   Tindakan Euthanasia di kategorikan dalam tiga macam, yaitu:
a)      Euthanasia pasif adalah apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan pengobatan demi memperpanjang kehidupan pasien, misalnya: dengan mencabut alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup, keluarga tidak lagi merawat pasien di RS. Hal ini terjadi untuk pasien yang benar-benar sudah terminal, dalam arti tidak bisa disembuhkan lagi, dan segala upaya pengobatan sudah tidak berguna pula. Belakangan tidak lagi dianggap sebagai euthanasia. Umumnya kalangan dokter dan agamawan setuju. Karena toh pasien meninggal karena penyakit nya, bukan karena usaha-usaha yang dilakukan manusia.
b)      Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan tindakan medik tertentu yang bertujuan meringankan penderitaan pasien, akan tetapi tindakan mediknya membawa risiko hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan. Misalnya: seorang pasien penderita kanker ganas tak tersembuhkan yang sangat menderita kesakitan diberi obat penghilang rasa sakit, namun obat tersebut mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan. Tindakan ini tidak bertentangan dengan eksistensi manusia sebenarnya, karena dilakukan agar pasien tidak berada dalam penderitaan yang terus-menerus dan tak tertahankan.
c)      Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek (mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia aktif ada dua; pertama, dokter yang mengambil tindakan mematikan misalnya dengan suntik mati. Kedua, dokter hanya membantu pasien, misalnya dengan memberi resep obat yang mematikan dalam dosis besar.
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
v  Menurut istilah Kedokteran :
Eutahanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan.Mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
v  Kategori Euthasania
o   Euthanasia ditinjau dari Pemberian Izin :
1)      Eutanasia di luar kemauan pasien
Suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan, dan pelakunya dapat dikenakan ancaman tindakan pidana.
2)      Eutanasia secara tidak sukarela
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.
Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisi lain, si pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakan kondisinya, misalnya sipasien koma atau tidak sadar.
3)      Eutanasia secara sukarela
Dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk eutanasia tipe yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnya sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum.

B.     Euthanasia dilihat dari sudut etika, moral, hukum serta agama Islam
1.      Euthanasia dilihat dari sudut etika
Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan orang lain.
Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan" (The Sanctity Of Life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.

2.      Euthanasia dilihat dari sudut moral
Dalam menilai masalah euthanasia, perlu disadari bahwa masalah euthanasia amat kompleks. Masalah euthanasia tidak pernah berdiri sendiri tetapi selalu berkait dengan soal lain, misalnya sosial, politik dan ekonomi. Di sini, hanya disajikan premis untuk penilaian euthanasia dari segi moral kehidupan.
a)      Pandangan mengenai hidup
Euthanasia pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia. Yang dibahas di sini adalah pandangan hidup secara etis dan teologis
b)     Hidup sebagai anugerah
Banyak peristiwa dalam hidup kita mengatasi perhitungan dan perencanaan manusia (kemandulan, kesembuhan atau kematian di luar dugaan) dan menimbulkan keyakinan bahwa hidup itu pada akhirnya adalah anugerah. Memang manusia meneruskan atau mewariskan kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri tidak berasal dari padanya, melainkan dalam bahasa religius dari Tuhan sebagai pencipta dan sumber kehidupan. Dibandingkan dengan Tuhan, hidup manusia itu kontingen, dapat ada, dapat tidak ada, tetapi memang de facto ada karena diciptakan Tuhan. Deklarasi tentang euthanasia sendiri menegaskan hal ini dengan mengutip perkataan Santo Paulus ”Bila kita hidup, kita hidup bagi Tuhan, bila kita mati, kita mati bagi Tuhan. Apakah kita hidup atau mati, Kita adalah milik Tuhan (Rom 14:8 )
Manusia bukanlah pemilik mutlak dari hidupnya sendiri. manusia administrator hidup manusia yang harus mempertahankan hidup itu. Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil atau memutuskan hidup baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Euthanasia adalah bentuk dari pembunuhan tu karena euthanasia mengambil hidup orang lain atau hidupnya sendiri (Assisted Suicide). Euthanasia menjadi salah satu cermin di mana manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah sendiri adalah Tuhan atas kehidupan.
c)      Hidup sebagai nilai asasi yang sangat tinggi.
Dari sekian banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai lainnya menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang sangat tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia fana. Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam status “vegetatif” (PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.
d)     Hidup sebagai hak asasi dan nilai yang harus dilindungi.
Karena hidup merupakan anugerah dengan nilai asasi dan sangat tinggi, maka hidup merupakan hak asasi manusia dan karenanya juga harus dilindungi terhadap segala hal yang mengancamnya.
e)      Hidup sebagai tugas
Anugerah dan tugas bersifat korelatif, artinya hidup sebagai anugerah sekaligus berarti hidup mengembangkannya seutuhnya (menurut segala seginya, seperti biologis, fisik, psikis, kultural, sosial, religius, moral dan seterusnya). Dalam tugas mengembangkan kehidupan tersirat tanggung jawab dan hak untuk mempergunakan sarana-sarana yang perlu atau bermanfaat untuk memenuhi tugas itu sebaik-baiknya.
f)       Pandangan mengenai Penderitaan dan Kematian
Selain berkaitan dengan kehidupan, euthanasia juga berurusan dengan kematian. Maka perlu diperhatikan pula pandangan tentang kematian.
g)      Penderitaan sebagai beban atas anugerah hidup
Hidup memang anugerah, tetapi tak jarang anugerah ini dibebani kekurangan kualitas kehidupan berupa penderitaan. Memang penderitaan juga dapat mempunyai segi positif dan nilainya, tetapi secara manusiawi penderitaan pertama-tama dirasakan sebagai beban. Menurut ajaran kristiani, rasa sakit, terutama pada waktu meninggal, dalam rencana penyelamatan Allah mendapat makna khusus. Penderitaan merupakan partisipasi dalam penderitaan Kristus dan menghubungkan dengan kurban penebusan.
h)     Mati dan kematian sebagai keterbatasan anugerah.
Hidup memang anugerah, namun anugerah yang terbatas. Oleh karena itu hidup harus juga diterima dalam keterbatasannya yaitu kematian. Keterbatasan sebenarnya bukanlah keburukan, tetapi seringkali dirasakan sebagai keburukan, meskipun di lain pihak juga dapat diinginkan sebagai pembebasan. Soalnya sekarang ialah di mana batas itu, kapan saatnya tiba, sebab manusia dewasa ini makin mampu “menunda” saat kematian atau “memperpanjang hidup”.
3.      Euthanasia dilihat dari sudut hukum
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian.Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan secara permanen (Permanent Cessation Of Life). Hanya saja, untuk memahaminya terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.
Pada dewasa ini, para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
4.      Euthanasia dilihat dari sudut agama islam
Hukum Euthanasia dalam syariah islam menurut macamnya, yakni :
a.       Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya Firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim).
b.      Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Menurut MUI ( Majlis Ulama’ Indonesia )
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan.
5.      Euthanasia ditinjau dari Segi Tujuannya
Ditinjau dari segi tujuannya, eutanasia juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010), yaitu:
a)      Eutanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing): Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.
b)      Eutanasia hewan: Sesuai dengan namanya, eutanasia jenis ini, khusu dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada kasusyang lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk hewan-hewan kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih dahulu.
c)      Eutanasia berdasarkan bantuan dokter: Adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri.



BAB II
KESIMPULAN

Dari keseluruhan makalah ini penulis dapat disimpulkan bahwa:
a)      Euthanasia dilihat dari sudut etika
ü  Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja.
ü  Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana.
ü  Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran pada aspek lainnya.
ü  Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi manusia, hukum, ilmu pengetahuan dan agama.
ü  Euthanasia pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia.
ü  Hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan.
b)      Euthanasia dilihat dari sudut moral
Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun tidak, kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian siap menerima kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.
Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil atau memutuskan hidup baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain.
c)      Euthanasia dilihat dari sudut hukum
Euthanasia dilihat dari sudut hukum bahwa kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.

d)     Euthanasia dilihat dari sudut agama islam
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain.






DAFTAR PUSTAKA

Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual
Freedom. New York: Knopf, 1993.
Embuiru, P. Herman, SVD, Penterjemah, Katekismus Gereja Katolik, Ende: Arnoldus, 1995
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: Obor, 1996.
Shannon, Thomas (Diterjemahkan K.Bertens). 1995. Pengantar Bioetika. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.






NIH KALO PERLU POWER POINT NYA JUGA.
DOWNLOAD AJA LINK DI BAWAH INI
http://www.4shared.com/file/cxB1ChRSba/ETIKA_UMUM_EUTHANASIA.html







No comments:

Post a Comment